IWj1X5DXrCbI10RsBEkQ7SL6RUOnRXSRSecqO6kR
Saya Tidak akan Terpuruk karena Merasa Dikalahkan, Bila Sejak Awal Tidak Pernah Merasa Harus Memenangkan

Saya Tidak akan Terpuruk karena Merasa Dikalahkan, Bila Sejak Awal Tidak Pernah Merasa Harus Memenangkan

02 April 2003, lama tak ada kaba berita, tiba-tiba Sonia datang ke rumah. Dia menceritakan kesedihannya, tentang ayahnya yang sakit. Sudah berobat ke mana-mana, namun tak kunjung sembuh. "Kang, … tolong kang ! Tengoklah ayah saya ! Saya berharap, Akang dapat membantu menyembuhkan ayah saya." demikian pinta Sonia, memelas.

Saya melihat keadaan ayahnya Sonia. Ternyata, itu bukan sakit biasa, melainkan kena santet. Kekuatan santet tersebut sangatlah besar.  Saya ragu dapat melawannya. Tapi, karena rasa belas kasihan pada Sonia, saya mencoba untuk menolong ayahnya yang terbaring lumpuh di atas tempat tidurnya sejak 5 bulan lalu.

Dengan berbagai cara, saya mencoba membantu Sonia mengobat ayahnya. Namun semua cara tidak berefek apapun. Semuanya tampak sia-sia. Ayah Sonia terus saja mengerang kesakitan siang dan malam hari. Rasanya saya sudah kehabiasan akal dalam menghadapinya.

Ketika saya sedang melakukan ritual-ritual tertentu, tiba-tiba telepon genggam Sonia berbunyi. Sonia terlihat panik, "Kang, tuh kan … orang ini selalu menelepon kami. Dia mengaku, dia yang membuat ayah saya sakit. Bagaimana Kang, … terima atau jangan ?"

Saya tertegun, .. Ini kasus pertama, di mana orang yang mengirim santet berterus terang kepada korbannya bahwa dia yang menyantet. Pikiran saya berkecamuk, apa yang mesti saya lakukan. Bagaimana kalau saya sarankan mereka melapor polisi ? Saya tidak yakin, kasus mistik seperti ini dapat dibawa ke polisi. Polisi dapat melumpuhka seorang penjahat dengan timah panas, tapi tidak dapat menembak sebangsa demit yang menyerang ayah Sonia.

Seorang tukang santet tidak akan berterus terang tentang perbuatannya, jika dia tidak memikirkan aka resikonya. Jadi, saya pikir orang itu telah siap dengan apapun resikonya yang akan dihadapi. Di telepon, ucapannya sangat lantang, berani dan menantang.

Jantung saya berdebar, memikirkan apakah saya hendak terlibat jauh dalam masalah ini, ataukah lari untuk menyelematkan diri. Sementara saya berpikir, Sonia menunggu jawaban saya, untuk menerima atau menolak panggilan di HP nya. Ternyata saya tidak begitu berani menghadapi persoalan ini.

Melihat wajah Sonia yang pernuh harap dan cemas, saya akhirnya berkata, "Terima saja, biar saya yang menerima telepon tersebut."

Dengan tangan yang gemar karena rasa takut, saya berkata,"Hallo, siapa ini ?"

Terdengar suara tawa yang keras, tawa yang penuh dengan rasa kemenangan, "ha….ha… ha… kamu siapa ? Kamu mau mencoba menolong dia.   Ha… ha…ha.. Jangan kau coba-coba kalau kau tak mau celaka. Perlu kamu tahu, dia akan mati… dia akan segera mati,… tidak perlu kau tolong. Itu karena dosa-dosanya sendiri. Kamu menyingkir saja. Aku tidak ada urusan dengan mu."

"Tapi, … apa salah dia…. Sampai kamu tega menyakitinya ?" tanya saya.

"Sudah.. Diamlah ! Kamu tak perlu tahu. Menyingkir saja, kalau tak ingin ikut mati bersama dia. Ha…ha…ha…" lalu orang itu menutup teleponnya.

Saya menghela nafas dan menundukan wajah. Saya merasa kalah dan tak sanggup untuk melawan kekuatan santet yang telah membuat ayah Sonia menjadi lumpuh.

Sonia bercerita bahwa si penyantet itu mengaku mantan rekanan kerja ayahnya dulu. Dia sakit hati dan merasa telah didzalimi, sehingga dia harus kehilangan pekerjaannya. Lama tidak terdengar kabarnya, lalu kini dia muncul dengan dendam yang membara melalui teror santet.

Bukan hanya dengan satu atau dua cara saja, Sonia telah membawa ayahnya berobat ke berbagai tempat, ke dokter, sinse, tukang urut, ke dukun atau bahkan ke kyai. Namun semua itu tidak membuahkan hasil. Harapan terakhir, dia mencoba minta tolong kepada saya, yang bahkan sayapun tidak yakin dapat menolongnya.

Lalu teringatlah saya pada guru, dan berpikir untuk meminta bantuannya. "Sonia, … bagaimana kalau kita ke rumah guru kita. Kita minta bantuan beliau."

"Iya…. Kang. Saya pikir juga begitu, bila Akang sendiri merasa tak sanggup untuk menghadapinya." kata Sonia.

"iya.. Maaf Soia, kekuatan santet ini terlalu kuat. Saya tidak sanggup melawannya sendiri." demikian saya katakan.

Keesokan harinya, saya dan guru datang ke rumah Sonia untuk melihat keadaan ayahnya Sonia. Dia  mendoakan kesembuhan bagi ayah Sonia. Setelah itu, lalu memberikan nasihat-nasihat kepada Sonia dan keluarganya agar mereka ikhlas terhadap apapun yang terjadi dan terus berdoa, memohon pertolongan Allah.

Sebelum pulang, guruku mampir ke rumahku. Dia berkata, "Kita tidak dapat menolongnya. Bukan hanya karena kekuatan santet tersebut terlalu besar, namun juga karena dosa-dosa ayah Sonia yang terlalu besar. Itu adalah karma nya sendiri. Kita tidak dapat menolongnya, karena dia harus menuai apa yang dia tanam. Kita hanya bisa mendoakan, semoga mereka diberi kesabaran dan keikhlasan, sehingga dengan itu dosa-dosanya diampuni."

Sonia bilang, orang yang mengirim santet itu menelepon setiap hari hingga tiga atau lima kali. Dan biasanya, setelah orang itu menelepon, ayahnya akan berteriak-teriak kesakitan selama 1 atau 2 jam lamanya. Sonia sudah tidak tahan melihat penderitaan ayahnya. Namun, kami tidak berdaya untuk menolongnya. Kami hanya dapat bertawakal, sambil terus memohon pertologan pada Allah, dan apabila memohon ampunan atas dosa-dosa ayahnya Sonia.

Lima hari kemudian, Sonia kirim SMS, "Kang, ayah saya telah meninggal hari ini. Saya mohon Akang datang untuk mendoakan ayah saya."

Saya merasa sedih, karena tidak dapat berbuat banyak untuk Sonia, salah satu murid saya yang saya menyayanginya. Terlebih pada waktu itu, saya tidak dapat melayat ke rumah Sonia, karena sedang ada tugas kerja ke luar kota. Bahkan sayapun, tak berani untuk membalas sms itu. Setiap kali hendak mengetik balasan sms, seolah jari saya membeku. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Akhirnya saya diam saja.

Setahun kemudian, Sonia datang kembali ke rumah saya untuk bersilaturahim. Dia berkata, "Kang Asep, … waktu ayah saya meninggal, saya menunggu-nunggu kang Asep, tapi gak datang."

Saya hanya terdiam, tak tahu apa yang harus dikatakan. Lalu setelah hening sejenak, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sejak hari itu, sampai hari ini saya tak pernah jumpa lagi dengan Sonia. Rumahnya telah pindah, entah ke mana. Semoga dia memaafkan saya, karena saya tidak dapat berbuat banyak untuknya.

Setelah lama saya merenungi peristiwa santet yang menimpa ayahnya Sonia, kini saya menyadari bahwa sejatinya kepedihan hati saya bukan karena kekuatan santet orang lain mengalahkan saya, melainkan karena ketidak-ikhlasan hati, serta kurangnya kesadaran diri bahwa memang diri ini lemah, tidak berdaya. JKeesokan harinya, saya dan guru datang ke rumah Sonia untuk melihat keadaan ayahnya Sonia. Dia  mendoakan kesembuhan bagi ayah Sonia. Setelah itu, lalu memberikan nasihat-nasihat kepada Sonia dan keluarganya agar mereka ikhlas terhadap apapun yang terjadi dan terus berdoa, memohon pertolongan Allah.

Sebelum pulang, guruku mampir ke rumahku. Dia berkata, "Kita tidak dapat menolongnya. Bukan hanya karena kekuatan santet tersebut terlalu besar, namun juga karena dosa-dosa ayah Sonia yang terlalu besar. Itu adalah karma nya sendiri. Kita tidak dapat menolongnya, karena dia harus menuai apa yang dia tanam. Kita hanya bisa mendoakan, semoga mereka diberi kesabaran dan keikhlasan, sehingga dengan itu dosa-dosanya diampuni."

Sonia bilang, orang yang mengirim santet itu menelepon setiap hari hingga tiga atau lima kali. Dan biasanya, setelah orang itu menelepon, ayahnya akan berteriak-teriak kesakitan selama 1 atau 2 jam lamanya. Sonia sudah tidak tahan melihat penderitaan ayahnya. Namun, kami tidak berdaya untuk menolongnya. Kami hanya dapat bertawakal, sambil terus memohon pertologan pada Allah, dan apabila memohon ampunan atas dosa-dosa ayahnya Sonia.

Lima hari kemudian, Sonia kirim SMS, "Kang, ayah saya telah meninggal hari ini. Saya mohon Akang datang untuk mendoakan ayah saya."

Saya merasa sedih, karena tidak dapat berbuat banyak untuk Sonia, salah satu murid saya yang saya menyayanginya. Terlebih pada waktu itu, saya tidak dapat melayat ke rumah Sonia, karena sedang ada tugas kerja ke luar kota. Bahkan sayapun, tak berani untuk membalas sms itu. Setiap kali hendak mengetik balasan sms, seolah jari saya membeku. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Akhirnya saya diam saja.

Setahun kemudian, Sonia datang kembali ke rumah saya untuk bersilaturahim. Dia berkata, "Kang Asep, … waktu ayah saya meninggal, saya menunggu-nunggu kang Asep, tapi gak datang."

Saya hanya terdiam, tak tahu apa yang harus dikatakan. Lalu setelah hening sejenak, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sejak hari itu, sampai hari ini saya tak pernah jumpa lagi dengan Sonia. Rumahnya telah pindah, entah ke mana. Semoga dia memaafkan saya, karena saya tidak dapat berbuat banyak untuknya.

Setelah lama saya merenungi peristiwa santet yang menimpa ayahnya Sonia, kini saya menyadari bahwa sejatinya kepedihan hati saya bukan karena kekuatan santet orang lain mengalahkan saya, melainkan karena ketidak-ikhlasan hati, serta kurangnya kesadaran diri bahwa memang diri ini lemah, tidak berdaya.

Jika sejak awal saya sadar diri bahwa saya tidak bisa apa-apa, dan ikhlas hati, serta berserah sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, maka kepedihan itu tidak akan ada. Saya tidak akan terpuruk karena merasa dikalahkan, bila sejak awal tidak pernah merasa harus memenangkan.
DONASI VIA PULSA Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain Prodi SEO. Terima kasih.
Selanjutnya...
SHARE
Blog Ala Santri
"Bagaimana aku akan takut dengan kemiskinan, sedangkan aku adalah hamba dari Yang Maha Kaya".

Related Posts

Subscribe to get free updates

Post a Comment